keadilan yang (sangat) diinginkan
(disclaimer: ini hanya berdasarkan opini pribadi dan pengetahuan yang didapat di perkuliahan. Tidak maksud merendahkan kaum manapun)

Beberapa bulan ini saya banyak disibukkan dengan kegiatan di kampus yang mengharuskan saya pergi sejauh 15 km dari rumah dengan motor. Saya tinggal di daerah kabupaten yang tidak terlalu padat, sedangkan kampus saya berada di pusat perkotaan yang cukup ramai seperti kota-kota lainnya. Meskipun sudah sering pergi-pulang kampus, terkadang saya masih merasa ketakutan saat berada di jalanan sendiri.
Ketakutan ini diakibatkan oleh banyaknya kasus begal dan kekerasan seksual yang lebih mudah menyerang perempuan. Saya merasa bahwa walaupun dunia sudah peka terhadap kesetaraan gender, masih ada ketidakadilan untuk perempuan berjalan ke luar rumah. Jangankan untuk pergi ke tempat jauh, untuk pergi ke apotik di seberang komplek saja, sudah ada laki-laki asing yang tiba-tiba catcalling tanpa sebab.
“Adeek, mau kemana deek?”
“Bagi wa-nya (re: whatsapp) dongg”
Bayangin, saya yang hanya pakai kaos panjang dan hijab biasa berpapasan dengan laki-laki yang harusnya cuma sekadar lewat, memilih untuk catcalling seorang perempuan asing yang juga cuma sekadar lewat.
Terkadang, jika saya merasa akan pulang malam dari kampus, saya pergi menggunakan angkutan umum dengan alasan semoga lebih aman. Namun, tetap saja saya merasa takut mengingat pelecehan seksual yang pernah saya alami di angkutan umum. Dengan pengalaman itu, saya merasa muak dikelilingi laki-laki asing di jalanan.
Banyak dari masyarakat tidak paham bahwa sapaan genit kepada orang asing di jalan merupakan pelecehan seksual verbal. Dengan hanya bersiul saja pun sudah termasuk pelecehan seksual. Dan tentu, kata ‘pelecehan’ tidak hanya sekadar dilontarkan, kata itu ada karena korban merasa direndahkan.
Pelecehan seksual verbal tentu tidak bisa lepas dari perempuan, mulai dari mengomentari soal tubuh, berandai-andai hal negatif ke perempuan hingga menjadikannya candaan di tongkrongan. Dan ketika hal tersebut terjadi, yang paling sering dikatakan society adalah “kan hanya bercanda,” “kan aku tidak menyentuhmu,” “kenapa kamu baper sekali?”.
Atau yang lebih parahnya jika perempuan melapor ke orang terdekat dan pihak berwajib, tanggapan yang sering diterima adalah “kenapa tidak berontak?”, “kenapa diam saja?”, “sudah terjadi, mau gimana lagi?”.
Kalau sudah seperti itu, korban bisa jawab apa? “Maaf saya salah”?
Apa itu normal?
Well, sepertinya lingkungan harus lebih peka soal kesetaraan gender dalam masalah ini. Akankah lebih baik jika perempuan dan laki-laki memiliki kenyamanan yang sama di lingkungan?
Dan, bukankah lebih baik untuk mengurangi perdebatan soal siapa yang lebih pantas ada di dapur. Karena, bagi saya tidak ada jawaban pasti tentang siapa yang lebih pantas. Saya merasa baik perempuan maupun laki-laki boleh memasak, mengurus anak, mengangkat galon hingga benerin genteng, tentunya.